Iklan

" />

Pemilu 2024, Matinya Kritisisme ?

Redaksi
Sunday 17 September 2023 | 08:00 WIB Last Updated 2023-09-17T01:00:00Z
Ilustrasi Pemilu 2024. Sumber: kpu.go.id


Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos


Kritis, identik dengan pikiran antitesa dari status quo yang telah dibangun oleh lingkungan kita, baik lingkungan sosial ataupun politik. Kritis adalah sikap yang berasal dari ketidakpuasan atas das sein yang harusnya sejalan dengan das sollen. Sikap kritis biasanya terbangun sendiri apabila pikiran diasupi oleh intelektualitas teoritis yang sesuai dengan norma, kaidah, nilai yang berlaku. Atau berasal dari pengalaman (experience) yang hidup hingga pengalaman tersebut membentuk nilai dan kaidah tersendiri dan membentuk pola pikir yang kritis. Sedangkan kritisisme adalah penilaian yang berfokus pada sisi negatif dari sesuatu atau seseorang. Kritisisme bisa berupa tanggapan instan maupun tertulis dan terperinci. Kritisisme terbagi menjadi beberapa jenis seperti teoretis, praktis, impresionistik, afektif, preskriptif, atau deskriptif. Kritisisme berupa ekspresi ketidaksetujuan yang bersifat konstruktif.

Lalu seberapa dibutuhkannya nilai-nilai kritis terhadap sesuatu hal? Terlebih lagi mengenai perpolitikan yang ada di Indonesia. Sejatinya kritisisme adalah nilai yang tidak akan dimiliki oleh siapapun yang tidak membangkitkan dasar literasi. Keilmuan dan pengalaman aktivisme menjadi penting untuk membentuk nalar berpikir kritis. Pola berpikir kritis tidak datang begitu saja, ia bukan sebuah warisan, tetapi sebuah nalar yang dipupuk betul untuk membentuk pola tindakan dan pikiran. Maka nilai-nilai kritisisme selalu berada segaris lurus dengan moral, etika, nilai, intelektualitas, norma, dan keadilan. Jika kritisisme tidak segaris lurus dengan hal-hal tersebut, maka tentunya kritisisme tersebut dipertanyakan, dicurigai tercampur nilai-nilai pragmatisme, nepotisme, opportunisme. Tetapi, sejatinya seorang yang disebut kritis adalah mereka yang memiliki nilai-nilai intelektualitas yang terukur, hingga ia berbicara bukan karena emosi tetapi karena ada nilai kebenaran yang diperjuangkan yang telah dipertimbangkan.


Intelektualitas Modal Dasar

Jika mengacu pada intelektualitas tentunya menjadi sesuatu yang kompleks, karena konsepsi intelektualitas yang luas menjadi sesuatu yang debateble. Misal, jika ada yang mengkritik pemerintah karena fasilitas yang tidak terpenuhi, atau mengkritik pemerintah karena korupsi apakah bisa dia disebut seorang intelektual. Atau mari kita lihat kasus 300 Trilian di kementerian keuangan yang berusaha diungkap oleh Mahfud MD, nalar publik tersentak dengan temuan tersebut, tapi sekaligus pesimis, terbukti hingga hari ini kasus tersebut tidak ada kejelasan. Lebih terlihat nilai intelektualitas dari Mahfud MD hanya sekedar angin lalu untuk sensasi menuju 2024. Juga mengacu pada kritik Anies Baswedan terhadap infrastruktur dari zaman SBY ke zaman Jokowi, kritik beliau juga tidak menyentuh nalar publik untuk sekedar bertepuk tangan atau menganggap dia telah menjadi pahlawan. Hal itu biasa-biasa saja, apalagi diucapkan oleh seorang Bacapres yang notabenenya sedang ingin mendulang suara dari rakyat.

Konsepsi intelektualitas sangat tidak menarik hari ini jika itu diungkapkan oleh pejabat publik, banyak unsur pragmatisme yang muncul dalam setiap praktek kritis yang dibangun. Memang sikap-sikap intelektualitas lahir dari kegelisahan dari siapapun dengan landasan berpikir yang sistematis dan ilmiah. Tentu ini digandrungi oleh kaum akademisi, tokoh, ataupun pengamat. Tapi hari ini ruang itu lebih banyak diambil oleh pejabat publik yang berada dari sebuah Partai, yang setiap ucapannya tentu penuh kepentingan.

Mungkin yang paling terdengar menggembirakan pada ruang kritis itu masih diisi oleh sosok Rocky Gerung, yang hari ini masih menjadi master of mind dalam setiap diskusi yang dia bangun. Indikator kritik yang dibangunnya hingga hari ini masih didengar dan dipanuti, karena dia menjauh dari kekuasaan, dan bersikap sebagai sipil yang beroposisi, lain cerita Partai PKS yang hari ini menjadi oposisi, tentu saja suatu saat ia akan kehilangan kritisismenya jika Anies Baswedan sebagai Presiden. 

Nalar publik hari ini harus diuji dengan sikap benar-benar obyektif untuk mau melihat sisi lain dari perpolitikan menuju 2024. Tentu tidak boleh hanya melihat sekedar figur, tetapi lebih daripada itu. Bagaimana komitmen para bacapres terhadap lingkungan misalnya, apakah para bacapres siap berkomitmen untuk bertindak tegas pada tambang-tambang ilegal atau legal yang sejatinya merusak lingkungan juga membuat rakyat tersiksa karena dampaknya kerusakannya. Lalu bagaimana dengan komitmen pendidikan, yang hari ini masih banyak jutaan anak yang tidak sekolah, juga stunting. Juga bagaimana komitmen bacapres terhadap ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin berkembang, pengentasan kemiskinan serta menghapus polarisasi yang begitu mengakar di negeri ini.

Indikator-indikator ini tentu harus bersifat egaliter, dijalankan tanpa memandang lawan maupun kawan. Konsepsi keadilan juga sangat penting. Menjadi Presiden di negeri ini tidak bisa hanya bermodalkan pencitraan atau membawa-bawa label agama. Rakyat harus benar-benar cerdas dan intelektual. Sikap kritis harus selalu dipupuk, karena kompleksitas problematika negeri ini harus diselesaikan bersama-sama. Jika ketiga bacapres ini tidak lagi mampu mengakomodir keadilan dan kesejahteraan, tentunya rakyat bisa bersuara menuntut integritas sepenuh hati dari ketiga bacapres tersebut dengan menawarkan _misal_ pakta integritas bagi mereka agar tidak lagi melulu tentang partai tetapi harus tentang rakyat.


Sulitkah Menjadi Kritis

Bahkan mahasiswa pun tidak lagi mampu berpikir kritis. Ditengah-tengah degradasi intelektualitas, mahasiswalah kini yang paling berperan dalam memunculkan nalar itu, sayang kini mahasiswa pun sudah tidak lagi bersikap kritis, sebenarnya banyak faktor kenapa mereka tidak lagi mampu bersikap kritis, baik sistem kampus, kurangnya minat membaca, diskusi-diskusi tidak lagi hidup juga kurangnya minat beroganisasi dan sikap instan yang selalu dituntut oleh mereka. Apalagi ditambah ancaman-ancaman dari rezim ketika mereka mulai mengkritik, ada persekusi terselubung dan pembunuhan karakter. Sebut saja kasus Bima seorang mahasiswa yang mengkritik salah satu Bupati di Lampung.

Hari ini bahkan toko-tokoh buku tutup karena minat membaca yang kurang, pemuda ataupun mahasiswa lebih senang nonton konser, sekedar nongkrong sambil bermain game atau ikut tournamen Mobile Legend atau War Tiket Coldplay daripada mengikuti seminar-seminar, kajian pemikiran atau membuat diskusi-diskusi yang memantik nalar mereka. Mereka bisa menghabiskan ratusan ribu untuk sekedar nongkrong di kafe, membeli tiket konser dengan harga jutaan, tapi tidak mau membeli buku. Padahal pintu dasar menuju intelektualitas adalah buku dan diskusi. Dua hal inilah yang tidak lagi digandrungi mahasiswa. Jika kualitas mahasiswanya sudah rusak apalagi yang diharapkan untuk kedepannya?

Sikap intelektual organik sangat sulit ditemukan hari ini, baik ditengah-tengah mahasiswa ataupun ditengah-tengah tokoh-tokoh kita. Mungkin ada, tetapi mereka tidak eksis. Hari ini eksistensi kaum intelektual telah tertutup oleh pemain partai ataupun para pejabat oportunistik. Rakyat yang ingin bersikap kritis terhalangi oleh sikap pemerintah yang bersikap over deffensive bahkan terkesan offensive. Maka sikap-sikap kritis masyarakat hanya hidup pada percakapan-percakapan warung kopi atau diskusi-diskusi ringan dirumah-rumah, atau cuitan-cuitan di sosial media. Hanya sedikit yang benar-benar berani memunculkan nalar kritis.


Matinya Kritisisme Menuju Pemilu 2024

Pemilu 2024 sudah diambang pintu, hanya menghitung bulan kontestasi ini akan digelar. Sebenarnya jika dikatakan bahwa kritisisme telah mati, tidak 100% benar, tapi juga tidak bisa dikatakan salah. Kritisisme memang tidak sepenuhnya mati, tapi ia mati karena ada faktor eksternal status quo yang menutup nilai-nilai kritisisme. Kenapa status quo yang mempengaruhi matinya kritisisme? Karena esensi kritisisme adalah nalar yang dibebaskan melalui kebebasan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang sebagai manifestasi demokrasi secara de jure, tetapi hari ini seluruh sistem negeri ini menutup nalar kritis itu, bahkan seorang yang jujur akan dianggap aneh dan tidak memiliki ruang bagi eksistensi dirinya. Ini menjadi hal yang menyedihkan dinegeri ini.

Partai politik hari ini semakin “egois” dengan terlalu percaya diri menampilkan para bacapres yang mereka kehendaki, tapi belum tentu kehendak rakyat. Jika benar-benar demokrasi adalah jalan untuk kebebasan berpendapat, maka biarkan rakyat yang menentukan siapa pemimpinnya kedepan. Partai hari ini menutup ruang-ruang bagi rakyat untuk berperan aktif menentukan pemimpinnya, ditambah lagi dengan tresshold yang membuat cost politik yang besar, juga meningkatkan legitimasi partai dalam menentukan calon mereka, bukan calon yang diinginkan rakyat. Jadi, kritisisme tidaklah mati, jika para elit tidak membunuhnya. Salam 

Status Penulis :
Nama     : Januari Riki Efendi, S.Sos
Tempat/Tanggal Lahir             : Medan, 07 Januari 1993
Alamat          : Jln. Jermal VII, No. 63, Kel. Denai, Kec. Medan Denai, Medan
Kesibukan      : Founder Ruang Literasi Sumatera Utara
No. HP / WA      : 082361004087
E-mail     : akujanuary@gmail.com
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pemilu 2024, Matinya Kritisisme ?

Trending Now

Iklan

iklan