Iklan

" />

Pemilu 2024 : Supporter atau Voters?

Redaksi
Monday 18 September 2023 | 08:00 WIB Last Updated 2023-09-18T01:00:00Z

Ilustrasi pendukung Parpol


Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos 


Tahun 2023 menjadi pintu gerbang bagi gemerlap politik di tahun 2024. Tahun 2023 menjadi tahun yang sangat hangat _jika tidak dikatakan memanas_ bagi partai dan bagi bakal calon Presiden untuk tahun 2024. Tentu saja ini sangat menarik untuk dikaji sebagai bahan refleksi masyarakat atau rakyat yang memiliki kedaulatan berdemokrasi di tahun 2024. Menjadi persoalan utama adalah bagaimana tingkat kecerdasan pemilih atau tingkat intelektualitas pemilih di tahun 2024 mendatang, apakah benar-benar menjadi pemilih yang rasional atau emosional. Tentu rakyat tidak bisa dipersalahkan atas berbagai pertimbangan “politis”nya dalam mencoblos pemimpinnya untuk lima tahun kedepan. Yang dapat dipersalahkan adalah lembaga atau partai pengusung bagi setiap calon dalam menggunakan sumber daya baik intelektualitas, fasilitas juga media yang bertujuan untuk mendongkrak elektabilitas calon yang diusung. Maka, seharusnya tidak ada lagi pembodohan bagi rakyat yang akan memilih, tidak boleh lagi membangun semangat emosional semata yang hanya membentuk pemilih populis daripada pemilih rasional di tahun 2024 nantinya.


Rasionalitas atau Emosionalitas?

Dua hal tersebut bukanlah suatu yang salah. Pemilih rasional digandrungi oleh kaum intelektualitas, sedangkan pemilih emosional digandrungi oleh masyarakat awam yang populis. Tentu menjadi awam bukanlah suatu yang tidak baik. Dalam kontestasi politik tugas pemerintah serta partai politiklah yang mendidik rakyat untuk menjadi rasional ketimbang emosional. Rasionalitas terbentuk dari akal yang terdidik, rasionalitas akan selalu relevan pada kebijakan tokoh yang didukung, bukan hanya figur secara emosional. Struktur pendidikan poltik harusnya dibangun terlebih dahulu dari pendidikan yang rasional, jika rasionalitas terbentuk maka poin emosional bisa menjadi opsi dalam ranah insting dan feeling tanpa mengaitkan sektarianisme, tribalisme, primordialisme, dan kelompok kepentingan partai semata.

Jika rakyat terus-terusan dididik memilih secara emosional maka dampaknya memunculkan karakter pemilih ideologis pragmatisme dan ideologis idealisme. Seorang ideologis pragmatis, hanya akan mendukung mati-matian calon presidennya dengan keuntungan tertentu, baik dengan keuntungan secara materi ataupun jabatan. Ditengah-tengah masyarakat ideologis pragmatis ini tentu menjadi permasalahan, seseorang hanya akan memilih selama dia dibayar, harga politiknya mungkin dari Rp.100.000 bahkan ada yang rela memilih hanya dengan dibayar Rp. 25.000, tentu hal ini membentuk dasar ideologis pragmatis ditengah-tengah rakyat kecil. Jika rakyat terus-terusan dididik menjadi seperti ini maka tidak heran kualitas pendidikan politik kita buruk dan indeks literasi politik kita menurun.

Lalu bagaimana dengan karakter pemilih ideologis idealis? Ini lebih parah, kelompok inilah yang nantinya akan membentuk polarisasi yang tidak berkesudahan, karena kelompok ini akan berjuang mati-matian demi calon yang didukungnya tanpa rasionalitas. Gerakan simpatisan politik ini akan mengagungkan calonnya “bak Nabi”, tidak ada celah untuk menyalahkan calonnya walaupun calonnya tersebut _bisa saja_ berlaku curang atau melakukan kompetisi yang tidak fair. Kita sudah merasakan polarisasi yang luar biasa ketika pilpres 2019, perang sosial media, lahirnya UU ITE serta kriminalisasi kaum oposisi juga caci maki di ruang-ruang maya. Tentu ini dilakukan oleh masyarakat yang berkarakter ideologis idealis. Idealisme yang digaungkan malah bersifat berlebihan serta merusak stabilisasi perpolitikan di negeri ini. Dua kubu (koalisi pemerintah dan oposisi) biasanya melakukan politik caci maki serta penghancuran karakter, bahkan tidak jarang juga kekuasaan menggunakan kuasanya untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Gerakan-gerakan ideologis idealis ini menjadi tantangan luar biasa ketika 2019, demonstrasi, tumpulnya hukum bagi pendukung rezim, serta mudahnya mengkriminalisasi lawan politik. Hal ini gampang sekali di “amini” oleh oknum-oknum di dalam rezim itu sendiri. Dan hal ini biasanya terjadi karena bias konfirmasi antara dua belah pihak.


Masihkah menjadi suporter atau voters? 

Eep Saefullah Fatah (Founder & CEO Polmark Indonesia) berpendapat pada acara diskusi di sebuah Channel Youtube, bahwa “urusan kita dengan calon presiden dan wakil presiden harusnya sebagai voters, bukan suporter. Sebagai voters, kita memilih karena gagasan dan akan menuntut gagasan itu ketika ia terpilih, berbeda dengan suporter yang akan mendukung calonnya apapun yang terjadi, apakah pilihannya itu baik atau buruk.”

Setidaknya begitulah sekilas maksud dari apa yang disampaikan oleh beliau. Pernyataan beliau menjadi sangat menarik dan tentunya pernyataan tersebut sangat dengan dengan tragedi-tragedi sejarah politik beberapa tahun kebelakang. Suporter diwakili oleh kaum peemilih populis dan irrasional atau emosional. Sedangkan voters biasanya lebih kritis dan rasional. Pada dua karakter ini di dalamnya juga terdapat pemilih idealis atau pragmatis. Tidak dipungkiri juga bahwa politik menciptakan alur rekognisi (recognition) dari calon presiden. Alur ini menciptakan kontestasi validasi dari berbagai masyarakat. Validasi dari masyarakat akan di dapatkan jika rekognisi tadi memanfaatkan elemen-elemen suporter dan voters tersebut dengan baik. 

Elemen-elemen suporter dan voters tersebut terkadang tidak bisa memilih sikapnya dalam percaturan politik. Ada segmentasi regulasi yang membuat rakyat hanya “manut” pada peraturan lembaga penyelenggara pemilu dan parta-partai pengusung. Maka kontestasi ini bisa saja tidak murni menjadi demokrasi etis di satu sisi, bisa saja ini adalah kontestasi dari kaum oligarki yang mengatur dari sistem yang membentuk para suporter dan voters tersebut.

Lalu pertanyaannya bagaimana sikap kita dalam perpolitikan di tahun 2024 mendatang? Menjadi suporter ataupun voters akan tidak menjadi masalaha jika tujuan akhirnya adalah untuk kemenangan bangsa ini. Tentu itu pernyataan yang utopis tanpa landasan empirik sejauh sejarah politik kita. Tetapi optimistis dalam membangun bangsa ini tentunya tidak boleh usai. Dualisme pemilih baik suporter dan voters tersebut bukanlah hal yang harus dipermasalahkan, karena kedua pemilih tersebut juga bisa kita lihat tidak seperti kacamata kuda. Karena dua karakter pemilih tersebut juga bisa terbentuk dari lingkungan politik, lingkungan, sosial, ekonomi, agama dan pendidikan. 


Election, Who The Champion?

Bagaimana kita menjawab pertanyaan diatas? Semua pasti punya jawaban yang subyektif untuk mengatakan siapa pemenang dari pemilu. Jika bertanya pada Partai A, maka tentu dia mengatakan ketika capresnya terpilih maka itu kemenangan bersama dan kemenangan rakyat. Begitupun jika bertanya pada Partai B, C dan D dan seterusnya, dengan koalisinya masing-masing. Subyektifisme menjadi alur berpikir setiap partai ketika mendekati pemilu. Bukan berarti semua apa yang mereka katakan salah, juga bukan berarti benar. Hanya saja harus ada filterisasi politis juga dari rakyat.

Ketika rakyat terbelah menjadi suporter dan voters, maka ini hanya bisa diselesaikan pada wilayah etika (ethics). Tetapi, yang paling berperan dalam memberikan peran etika dalam hal perpolitikan tentunya lembaga negara yang bersangkutan juga partai-partai politik. Kita bisa mengatakan tingkat kecerdasan rakyat saat ini mulai meningkat setiap periodesasinya, entah signifikan atau tidak. Tetapi di tengah-tengah global village yang dibawa sosial media, maka rakyat bisa mengawasi pemilu di negeri dengan transparansi. 

Jika berbicara pemilu kita saat ini, tidak bisa dikatakan akan menjadi kemenangan siapa tanpa terbukti di lima tahun kedepan. Polarisasi pasti akan terus terbentuk, tinggal memilih apakah pemerintah atau partai akan merawat polarisasi yang menciptakan konflik berkepanjangan atau berusaha terus mengedukasi agar mempersempit jurang polarisasi itu agar tidak menjadi konflik. Satu-satunya yang mendapatkan kemenangan dari setiap pemilu tentu saja partai pengusung, tidak bisa dibilang tidak. Pemilu adalah politik kepentingan, ada saja yang akan mengambil keuntungan dari setiap kontestasi. Tetapi tidak ada benteng yang kuat yang mampu membuat seorang pemimpin yang zhalim terhadap rakyat, jika rakyat menuntut kedaultannya di negeri ini, setidaknya inilah realitas yang di sampaikan Machiaveli dalam bukunya Il Principe.

Salam..

Status Penulis :
Nama : Januari Riki Efendi, S.Sos
Tempat/Tanggal Lahir         : Medan, 07 Januari 1993
Alamat      : Jln. Jermal VII, No. 63, Kel. Denai, Kec. Medan Denai, Medan
Kesibukan  : Founder Ruang Literasi Sumatera Utara
No. HP / WA  : 082361004087
E-mail : akujanuary@gmail.com

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pemilu 2024 : Supporter atau Voters?

Trending Now

Iklan

iklan