Iklan

" />

Literasi Pemuda dan Arah Baru Politik 2024

Redaksi
Tuesday 19 September 2023 | 08:00 WIB Last Updated 2023-09-19T01:00:00Z
Ilustrasi


Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos 


Era politik 2024 sebenarnya masih dua tahun lagi tetapi euphorianya sudah sangat terasa hari ini. Setidaknya sudah dua figur yang muncul yang kemungkinan akan muncul dan bertarung di 2024, yaitu Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Dua tokoh bangsa ini sudah mulai melakukan manuver politik, baik dalam bentuk konsolidasi internal kepada partai pendukung atau konsolidasi eksternal kepada elemen-elemen masyarakat. Perpolitikan yang gandrung dengan lobi-lobi yang permainan kepentingan tentunya tidak lagi menjadi rahasia umum. Semua sudah bisa membaca gerakan-gerakan para calon, bahwa pergerakan yang dilakukan dipastikan untuk “mendompleng” elektabilitas di 2024 nantinya.

Pertarungan politik adalah pertarungan citra dan branding, berangkat juga dari siapa yang memegang media sebagai alat framing juga memegang “investor” sebagai yang mendanai para bakal calon selama melakukan konsolidasi, gerakan-gerakan politis demi elektabilitas ini padahal idealnya tidak harus muncul secepat ini. Ada dua hal yang membuat fenomena pencalonan ini menjadi begitu cepat di deklarasikan, yaitu : Pertama, peluang yang muncul bagi para tokoh untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. 

Sebelum dua nama ini muncul (Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, kemungkinan Puan Maharani dan Ganjar akan juga ikut kontestasi) telah muncul para menteri yang juga melakukan “taste the water”, dengan melakukan branding bahkan deklarasi. Peluang-peluang politik ini dilakukan oleh para menteri dan tokoh, “kemungkinan” dikarenakan kedekatan mereka terhadap istana. Lalu, kedua, dengan banyaknya permasalahan yang bertumpuk di negeri ini dan tidak mampunya pemerintah (rezim) menyelesaikan permasalahan (bahkan terkesan memelihara permasalahan tersebut) membuat rakyat menanti-nantikan pemimpin baru.

Pemuda tentulah tidak boleh buta akan politik, kaum muda adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki negeri ini kedepan. Jika para pemuda sudah tidak lagi peduli akan politik, maka sudah dipastikan negeri ini akan kekurangan calon-calon pemimpin kedepannya. Memahami politik bukanlah sekedar memahami dinamikanya saja atau hanya politik praktik yang ada di tubuh partai. Politik itu harus dipahami sebagai cara untuk menempuh tujuan demi kemaslahatan sebanyak-banyaknya orang, jika begitu politik tidak boleh disempitkan hanya pada tatanan pemilu, apalagi disempitkan dengan pemahaman bahwa Politic is political party (Politik adalah partai politik), pehamahan-pemahaman yang sempit tersebut harus dihilangkan dari pikiran kaum muda yang akan menjadi generasi penerus bangsa kedepan.


Literasi Politik, Kenapa Diperlukan? 


Pra 2019, rakyat Indonesia telah terbelah, saling benci, saling menjatuhkan dan saling menyerang. Kubu pendukung penguasa seakan-akan bisa melakukan apapun, sedangkan kubu oposisi bisa menghina apapun dari rezim. Pasca 2019, ruang-ruang polarisasi ini masih sangat kental hingga sekarang. Cebong dan Kampret ditambah lagi istilah-istilah ejekan Kadrun dan lainnya masih eksis ditengah-tengah rakyat kita. Tentu ini bukanlah sebuah politik yang sehat, selain tugas negara untuk membenahi ini, ini juga menjadi tugas rakyat Indonesia yang juga menjadi tugas kaum mudanya.

Melihat semua problematika yang terjadi di negeri ini tentunya haruslah melihat ini dari sisi yang lebih mendasar, bukan lagi melihat pada tataran yang general. Apa yang menjadi masalah utama di negeri ini hingga mudah sekali rakyat di negeri ini dijadikan komoditas politik dan dipolarisasi? Tentu saja budaya literasi dan kesadaran individual tentang pentingnya politik yang sehat. Literasi adalah sesuatu yang sangat mendasar, literasi harusnya dikembangkan bukan saja kemampuan minat baca secara kuantitas, tetapi literasi juga harus dikembangkan melalui minat dan daya baca secara kuantitas dan kualitas.

Tentu jika melihat data skala dunia, Indonesia bukanlah negara yang memiliki minat dan daya literasi yang baik. Inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia mudah sekali di jadikan komoditas politik dan dipolarisasi demi kepentingan segelintir orang. Literasi bukan dilihat dari minat baca saja, tetapi juga dilihat dari bagaimana seorang yang telah membaca bisa menganalisis problem dan mencari solusi dari setiap masalah yang ada (solve). Tentu negeri ini tidak kurang orang yang cerdas, tetapi negeri ini kurang orang yang berlaku jujur. Maka literasi juga harus dikuatkan dengan nilai-nilai moral, adab, etika yang terdapat dalam manusia-manusia beragama. Konsep pendidikan agaman menjadi penting membangun sikap politik yang baik. Literasi dan adab haruslah saling menguatkan dan menyatu. Negeri ini kehilangan pendidikan moral dan adab, hingga apa yang ditawarkan pendidikan di negeri ini hanya selembar kertas dan pekerjaan setelah lulus dari pendidikan.


Pemuda Hari ini Harus Apa?


Pertanyaan diatas, tentunya bisa dijawab dalam kerangka yang harus disusun dengan sistematis agar terbentuk ruang empirik dari epistemologi yang telah dibangun. Pemuda saat ini memiliki kekurangan, yaitu kekurangan dalam memunculkan gagasan dan mengeksekusi gagasan yang telah dicetuskan. Pemuda saat ini sangat senang dengan hal-hal yang simplifikasi daripada ruang kompleksitas yang mampu membangun mindset dan sikap hidupnya.

Pemuda saat ini menyukai apa yang instan, dan kebanyakan menolak proses yang rumit. Ini terbentuk dikarenakan para pemuda saat ini telah menerima berbagai informasi melalui media sosial, menjadikan media sosial sebagai sumber pengetahuan utama tanpa mau mendekati buku dan menganalisis permasalahan yang ada. Lihat, berapa banyak para kaum muda memilih menjadi konten kreator daripada benar-benar menekuni sebuah keilmuan dan menelurkan karya dari pemikirannya. Berapa banyak pemuda yang hanya ingin menjadi motivator daripada menjadi penggebrak nyata di bidang sosial, berapa banyak pemuda yang memilih menulis novel saja tanpa mau menulis pemikiran-pemikiran yang mumpuni untuk merubah negeri ini. tentu sangat sedikit. Bahkan lebih banyak pemuda yang lebih suka berpikir individualisme, hedonisme pemikiran-pemikiran yang merusak lainnya.

Jadi, saat ini PR pemuda sangatlah banyak, dan tanggung jawab di pundak juga semakin besar. Pertanyaan-pertanyaan tentang penyelamatan negeri ini harus segera dijawab oleh kaum muda. Misal, bagaimana kaum muda dapat menyelesaikan problematika negeri ini kedepan? Kontribusi apa yang sudah dirumuskan dimasa sekarang dan dimasa depan demi bangsa ini? Relakah kaum muda saat ini jika negeri ini tergadaikan kepada kaum-kaum oligarki dan mafia yang sedang bercokol di negeri ini? Apa rumusan terbaik untuk pemerintahan kedepannya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, hanya bisa dijawab bagi mereka yang berliterasi dan mampu menganalisis untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Dan sejarah juga mencatat, semua tokoh bangsa di negeri ini adalah seorang “menggilai” buku dan sangat mencintai ilmu, dari Agus Salim, Natsir, Soekarno, Moh. Hatta, juga Tan Malaka. Para penggebrak tersebut adalah mereka yang benar-benar mencintai ilmu dan mampu menyelesaikan berbagai problem di negeri ini. Maka, pemuda hari ini harus berliterasi dan mencintai ilmu.


Menjawab Apatisme Pemuda


Pemuda hari ini tentu terlahir dari kaum tua dahulu. Budaya dan sistem yang ada saat ini adalah hasil dari kesepakatan kaum tua. Maka jika ingin pemuda saat ini dan dimasa depan memiliki semangat politik yang sehat, harus dimulai dari para tokoh dan aktor politik di negeri ini untuk menjadi “tauladan” yang baik. Ditengah-tengahn euphoria 2024 mendatang, maka seluruh elemen dalam percaturan politik hari ini mampu menjadi “pembenah” dan “penasehat” yang bermoral dan beradab bagi pemuda. Bukan lagi menjadi contoh buruk bagi kaum muda.

Jika tetap ingin negeri ini masih eksis hingga dunia ini runtuh, maka janganlah kaum politikus merusak potensi-potensi pemuda dengan dinamika yang kotor, kebijakan yang hanya menguntungkan golongannya apalagi bertindak korup. Jangan salahkan jika negeri ini rusak oleh perilaku pemudanya, salahkan sistem yang sudah kalian bentuk di negeri ini hingga membuat pemuda tidak lagi menemukan jalan untuk mencintai “politik” di negeri ini. Salam.

Status Penulis :
Nama : Januari Riki Efendi, S.Sos
Tempat/Tanggal Lahir         : Medan, 07 Januari 1993
Alamat      : Jln. Jermal VII, No. 63, Kel. Denai, Kec. Medan Denai, Medan
Kesibukan  : Founder Ruang Literasi Sumatera Utara
No. HP / WA  : 082361004087
E-mail : akujanuary@gmail.com
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Literasi Pemuda dan Arah Baru Politik 2024

Trending Now

Iklan

iklan