Iklan

" />

Demokrasi Utopis

Redaksi
Friday 15 September 2023 | 19:17 WIB Last Updated 2023-09-15T12:24:17Z

 

Ilustrasi ©Law Column


Penulis: Januari Riki Efendi, S.Sos


How Democracies Die?

Pertanyaan tersebut juga bisa menjadi sebuah pernyataan. Pertanyaan itu sudah menjadi sebuah buku yang dikarang oleh dua orang profesor asal Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Tetapi yang selalu harus direnungkan, sebenarnya apa itu demokrasi? Apakah ia hanya konsep dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Atau demokrasi hanya disempitkan maknanya pada pemilu? Saya sendiri cukup heran, bagian manakah dari demokrasi yang harusnya dijalankan, jika slogan-slogan demokrasi terus digaungkan maka bukankah harusnya demokrasi belum terjalankan, atau memang tidak akan pernah terjalankan?

Saya melihat semua menuntut demokrasi ditegakkan. Tangan mahasiswa terkepal hampir setiap saat untuk demokrasi, para aktivis, cendikiawan dan kaum intelektual semuanya menuntut demokrasi. Tetapi demokrasi sendiri sangat sulit dipahami sebagai tatanan ideal, ia sendiri produk yang masih abstrak, jika tidak dikatakan utopis layaknya konsep sosialis komunis yang dibawa oleh kaum marxis. Jika benar demokrasi jalan menuju keadilan maka keadilan siapa? Dan untuk siapa? Di dalam buku Oligarki karya Jefrey Winters secara tidak langsung menjelaskan bahwa oligarki adalah produk demokrasi. Demokrasi menuntut kebebasan yang akan menciptakan kaum “cukong” untuk membiayai setiap calon pemimpin. Tidak ada yang salah dengan pembiayaan politik, yang mejadi kesalahan adalah dampak ketergantungan dari setiap calon pemimpin terhadap “shadow man” yang mengeluarkan cost politik bagi mereka.

Di amerika serikat sendiri sangat jelas dikatakan bahwa partai politik adalah gerbang demokrasi, bukan lagi rakyat. Semua sistem demokrasi pasti menganut hal yang sama, partai adalah pintu gerbang untuk “memuluskan” setiap alur politik di negeri tersebut. Di Indonesia sendiri dengan “segepok” partai politiknya juga menganut hal yang sama, hanya saja dipandu dengan tresshold dalam pemilihan Presiden. Jika demokrasi benar-benar sebuah kebebasan politik maka seharusnya partai politik tidak mutlak mengatur alur demokrasi, harusnya rakyat. Jika benar-benar slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu benar-benar ingin diterapkan.


Rakyat dan Demokrasi

Saya sendiri masih bingung terhadap demokrasi di negeri kita Indonesia. Sila keempat Pancasila yang bisa diartikan kesantunan kita dalam menentukan pemilihan, yaitu musyawarah mufakat, tetapi dilihat dari sistem demokrasi one man one vote tentu konsep musyawarah sudah batal dengan sendirinya, apalagi kemutlakan suara hanya dihitung dari jumlah terbesar pemilih, dan tidak ada lagi pilihan lain selain one man one vote. Padahal suara masyarakat awam dalam memilih tentunya berbeda dengan kaum cendikia, ulama, tokoh agama, serta kaum intelektual yang memilih dengan kajian yang lebih matang. Konsep demokrasi juga cukup ambigu, ketika rakyat hanya disuguhkan calon dari Partai, para calon “diciptakan” “diframing” atau dimunculkan ke media, lalu rakyat “dipaksa” untuk menyukai para calon yang sudah ditetapkan oleh partai. Pernahkah partai politik itu duduk dengan tokoh masyarakat, tokoh agama atau kaum cendikiawan untuk menentukan calon kandidatnya sebagai representasi dari rakyat? Tentu tidak pernah, partai hanya “ngopi” dengan partai koalisi untuk menghitung-hitung elektabilitas dari calon dan keuntungannya bagi partai. Bukan keuntungan bagi rakyat.

Demokrasi yang harusnya benar-benar untuk rakyat juga dicederai dengan berbagai kecurangan politik, baik  adanya money politik, suara yang digelembungkan, intimidasi, pembunuhan karakter bagi oposisi atau lawan politik, penguasaan oligarki dan lainnya. Korupsi juga menjadi produk demokrasi hasil dari cost politik yang mahal. Jadi apakah demokrasi benar-benar untuk rakyat, atau ia hanya slogan utopis yang hanya menguntungkan partai?


Bagaimana seharusnya demokrasi? 

Demokrasi bisa mati karena kudeta—atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia dan kita semua mesti mengerti bagaimana cara menghentikannya.

Setidaknya itu pendapat penulis dalam buku How Democracies Die? Ia sangat jelas menyatakan bahwa demokrasi akan mati tidak lagi dengan kudeta, bahkan ia bisa mati di tangan pemimpin yang dipilih secara “demokrasi” itu. Bahkan di buku tersebut juga di katakan bahwa awal kematian demokrasi adalah ketika pemilu dimulai. Ketika pemimpin yang terpilih tidak menjalankan keadilan dan kesejahteraan, maka sejatinya esensi demokrasi sudah mati. 

Saya merasa demokrasi yang seharusnya adalah tentang sistem yang benar, bukan hanya slogan. Jika demokrasi sudah menjadi kesepakatan bersama, maka harus ada sistem yang dibenahi. Jika rakyat tidak lagi menjadi prioritas dalam proses demokrasi, maka harusnya hal itu menjadi perhatian bagi para pemimpin sebagai otoritas pemegang sistem demokrasi. Jika pemimpin sudah tidak lagi peduli terhadap rakyat, apalagi rakyat hanya dijadikan “komoditi pemilu”, maka esensi demokrasi tentu akan menjadi sangat utopis dan sulit diraih. Belum lagi jika pemimpin tersebut tidak menjalankan supremasi hukum serta menggunakan alat negara untuk melawan rakyatnya. Niccolo Machiaveli dalam bukunya Il Principe berkata bahwa “jika seorang pemimpin tidak lagi disukai oleh rakyatnya, maka benteng sekuat apapun tidak bisa melindunginya” 

Kalimat Niccolo Machiaveli tidaklah terbantahkan, dalam sejarah tentu kita mengetahui banyak dari pemimpin yang tidak bisa bertahan ketika ia mengalami konfrontasi terhadap rakyatnya. Seorang pemimpin akan kehilangan legitimasi di tengah rakyatnya jika tidak mengindahkan demokrasi secara esensi. Masih dalam pertanyaan, bagaimana demokrasi seharusnya? Jawabannya, bagaimana keadilan dan kesejahteraan itu hidup, maka disitulah demokrasi. Karena demokrasi bersifat universal, ia bisa dijalankan sesuai budaya, pandangan hidup serta jati diri bangsa tersebut.

Utopia Demokrasi di Indonesia

Indonesia menganut demokrasi pancasila. Sistem ini sudah diakui oleh founding fathers kita dan dilanjutkan oleh generasi negeri ini hingga sekarang. Sebagai dasar dan ideologi bangsa, Pancasila harusnya menjadi ruh kehidupan dalam menjalankan demokrasi. Ada pertanyaan dialektika yang kita semua sudah tahu jawabannya. Apakah Indonesia sudah menjalankan demokrasi pancasila tersebut. Jawabannya adalah sejauh mana kesejahteraan itu telah dijalankan, lalu pertanyaannya sudahkah kesejahteraan itu berjalan? Jawabannya di era siapa dan bagaimana pemimpin itu menjalankannya. 

Era saat ini demokrasi di negeri tidak lebih hanya sekedar pertarungan elektabilitas tanpa esensi kualitas. Demokrasi digambarkan hanya seputar pemilu dan partai politik. Partai politik dan pejabat negara menjadi satu-satunya penegak demokrasi. Tidak lagi tentang rakyat tapi tentang “komoditi rakyat” demi suara pemilu. Poster, iklan, banner atau spanduk-spanduk berseliweran dimana-mana terpampang wajah yang katanya “calon memimpin” bangsa ini. Trias politica lumpuh dan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Tidak cukup tulisan ini menjabarkan bagaimana lumpuhnya demokrasi di negeri kita. Tapi kita menyadari, demokrasi saat ini sudah menjadi utopia, angan yang sulit digapai bahkan ia bisa dianalogikan seperti mencari satu jerami ditumpukan jarum, semakin dicari malah semakin tertusuk dan menyakitkan. Jika demokrasi itu bisa hidup kembali, maka ia berasal dari tangan orang sudah mengalami perjuangan yang keras untuk bangsa ini.


Status Penulis :
Nama : Januari Riki Efendi, S.Sos
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 07 Januari 1993
Alamat      : Jln. Jermal VII, No. 63, Kel. Denai, Kec. Medan Denai, Medan
Kesibukan : Founder Ruang Literasi Sumatera Utara
No. HP / WA : 082361004087
E-mail : akujanuary@gmail.com



 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Demokrasi Utopis

Trending Now

Iklan

iklan